
JAKARTA, Urbancity.id — Asosiasi Srikandi Developer dan Pengusaha Properti Indonesia (SRIDEPPI) menilai pemahaman pemerintah daerah (pemda) tentang regulasi pengembangan properti masih belum selaras dengan pemerintah pusat. Akibatnya, developer kerap menghadapi kesulitan ketika mengurus perizinan.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum SRIDEPPI Risma Gandhi, saat audiensi dengan Direktur Bina Penataan Bangunan Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), di Jakarta, Kamis (22/12/22).
Turut hadir dalam pertemuan tersebut, Ratih Rachmawati, Pejabat Fungsional (Jafung) Ahli Muda Bina Penataan Bangunan Kementerian PUPR; Wahyu Imam Santoso, Pejabat Fungsional (Jafung) TBP Madya, Bina Penataan Bangunan Dirjen Cipta Kary Kementerian PUPR ; Sitti Nurbaya, Wakil Ketua OKK; Nani Nadira, (Plt) Ketua Jabar; Dewi Sri Mulyati, dan Wakil Ketua Humas & Pengembangan Bisnis, Sisi Matahari.
Menurut Risma, sapaan akrabnya, saat ini regulasi pengembangan properti yang ditetapkan oleh pemerintahan pusat sudah mendukung. Namun fakta di lapangan, implementasi regulasi secara teknis tidaklah mudah. “Buktinya, kami menemui masih banyak keluhan anggota di lapangan,” kata dia.
Soal perizinan bangunan gedung, misalnya, pemahaman antara pemda satu dengan yang lainnya dalam satu provinsi saja bisa berbeda. “Karena itu, PUPR harus lebih sering melakukan sosialisasi ke perangkat daerah agar proses perizinan bisa dipercepat,” usul Risma.
Dalam kesempatan tersebit, Risma berserta sejumlah pengurus lainnya menjelaskan fungsi, tugas serta misi dan misi pembentukan SRIDEPPI. Selain itu, menyampaikan beberapa pokok pikiran terkait dinamika dan kendala perizinan pengembangan bisnis properti di daerah.
“Kami beserta Dewan Pengurus Pusat (DPP) SRIDEPPI lainnya juga meminta masukan serta dukungan PUPR guna membongkar sumbatan-sumbatan pengembangan bisnis properti di daerah,” Imbuh Risma.
Baca Juga : Srideppi Developer Lintas Asosiasi Salurkan Bantuan untuk Korban Erupsi Semeru
Setidaknya, lanjut dia, ada lima usulan yang disampaikan kepada Kementerian PUPR. Pertama, perbedaan sikap pemda terhadap kebutuhan KRK dalam proses penempuhan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). KRK sendiri merupakan salah satu syarat permohonan IMB.
“Sepanjang tidak ada perubahan bangunan dan lokasi, terkecuali untung bangunan yang baru, sifat dari KRK hampir sama dengan SIPPT dan Advice PlanningPlanning,” paparnya.
Kedua, perbedaan tuntutan pemda tentang tingkat tenaga ahli pengkaji SLF, dimana pada beberapa daerah mengharuskan tenaga ahli pengkaji minimum tingkat madya. Sementara, dalam PP No. 16 tahun 2021 tidak menyebutkan keharusan level pangkat tenaga ahli pengkaji.
Ketiga, perbedaan ketentuan pemda perihal standar keandalan struktur bangunan, berdasarkan SNI yang berlaku, seperti belum adanya keseragaman format daftar simak dalam kajian struktur terkait. Keempat, ketahanan gempa dimana kesalahan atau kekurangan kajian dalam hal ini akan beresiko bagi pengkaji teknis.
Kelima, ketentuan pelaksana kajian teknis untuk SLF yang membolehkan perusahaan konsultan atau tenaga independen tanpa batasan bagi pelaku. Ini sebagai jaminan bagi klien terkait keamanan dan keberlangsungan kegiatan SLF yang ditempuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Pejabat Fungsional (Jafung) TBP Madya, Bina Penataan Bangunan Dirjen Cipta Kary Kementerian PUPR Wahyu Imam Santoso mengakui masih banyak dinamika di daerah. Untuk itu, Kementerian PUPR dituntut mengkomunikasikan ketentuan (regulasi) pengembangan bisnis properti kepada daerah secara terus menerus.
“Kami sudah sering sosialisasikan hal-hal teknis terkait SIMBG misalnya. Tetapi pemahaman perangkat daerah memang sering tidak sama. Harus rajin komunikasi karena terkadang pejabat di daerah yang hadir dan datang waktu sosialisasi mereka mungkin saja tidak menjelaskan dengan tuntas ke bawahannya dan beberapa hambatan lain,” pungkas Wahyu.